Saya memasukkan barang-barang seperlunya ke dalam ransel kecil. Ya,
saya kembali melakukan perjalanan. Perjalanan impulsif untuk ke-sekian
kali. Setelah resmi menjadi kaum urban dan berinteraksi dengan rutinitas
pekerjaan, saya tak pernah mau menanggalkan ransel tersimpan tak
terpakai.
Jadi, seketika waktu senggang, saya mencari destinasi yang mungkin
dikunjungi saat akhir pekan tiba. Tak jauh dari Jakarta, tapi tetap
menawarkan sesuatu yang lebih dari sekedar melepas kepenatan.
Setelah mencari-cari destinasi yang cocok di forum pejalan, akhirnya
pilihan pun jatuh ke Desa Sawarna, desa kecil di Provinsi Banten. Ada
seseorang yang mengajak jalan bersama ke sana dengan harga terjangkau.
Saya tentu tak pikir dua kali untuk ikut mendaftar.
Secara geografis, Desa Sawarna terletak di Kecamatan Bayah, Kabupaten
Lebak, Provinsi Banten, di sebelah barat Provinsi DKI Jakarta. Untuk
mencapai ke desa tersebut, perjalanan dengan mobil atau bus memakan
waktu 7-8 jam.
Waktu terbaik untuk mengunjunginya memang di bulan-bulan pertengahan,
April-September saat musim kemarau tiba. Jalanan menjadi terjal dan
becek kala musim hujan. Arus air sungai yang deras pun bisa menjadi
penghambat untuk menikmati kearifan alam di sana.
Oleh karena itu, sebenarnya pemilihan waktu awal Februari untuk
berkunjung amat beresiko. Hujan masih dengan senang hati mengguyur
setiap tempat sesuai jatahnya masing-masing.
Potensi hujan mengacaukan liburan saya semakin besar ketika di
Terminal Kampung Rambutan, turun hujan deras saat kami akan berangkat ke
Desa Sawarna. Namun, di sini bukan waktunya untuk mundur!
Cuaca masih mendung saat bis kami sudah mendekati lokasi. Karena tak
punya kemampuan menari tarian tolak hujan, saya hanya bisa meminta pada
Yang Maha Baik untuk tidak mengijinkan hujan turun dua hari ini.
Perjalanan ini akan amat sayang jika tak bisa dinikmati sepenuhnya hanya
karena hujan turun. Saya tak ingin pulang hanya dengan kelelahan tanpa
sempat menikmati sepercik kemegahan alam di sini.
Sampai juga kami di lokasi. Cuaca tiba-tiba berubah cerah. Seperti ada yang mendengar pinta saya pagi tadi. Alhamdulillah.
Kesan awal, seperti hampir semua destinasi wisata, desa ini menarik.
Hanya saja, sisi menariknya pasti berbeda dan saya akan segera
mengetahuinya dalam dua hari ke depan.
Ada jembatan kayu yang menghubungkan kami dengan Desa Sawarna. Kurang
lebih panjangnya 20 meter dan hanya cukup untuk dilewati motor. Sungai
di bawah jembatan agak dangkal. Arusnya tak begitu deras. Terlihat
banyak juga anak-anak kecil mandi atau sekedar bermain di sana.
Masuk ke lingkungan desa, sudah ada kepala desa (setidaknya,
begitulah pengamatan saya, atau mungkin beliau hanya petugas yang
diminta untuk mengumpulkan “tarif masuk”). Beliau menunggu di sebuah
rumah-rumahan kayu, dan meminta tarif masuk Rp. 2000 per tamu untuk
sekali kunjungan. Murah sekali.
Kami berjalan menuju homestay yang sudah dipesan. Sepanjang mata memandang, sisi-sisi modernitas tercermin dibalik tembok-tembok rumah warga di sini.
Jalanan setapak desa ini sudah disemen. Walaupun beberapa sisi jalan
desa masih tanah, tetapi kemajuan kental terlihat. Hampir semua rumah
dibuat permanen, listrik juga sudah masuk ke desa, dan beberapa penduduk
sudah memiliki motor sendiri.
Sampai di homestay, saya cukup terkejut dengan kondisi homestay
yang akan kami inapi semalam ini. Rumahnya cukup besar, bahkan sangat
besar, untuk ukuran desa. Fasilitasnya pun lengkap dengan meja pingpong
dan lapangan voli. Awalnya, saya berpikir hanya akan menginap di rumah
warga yang sederhana. Bagaimanapun juga, homestay yang nyaman ini adalah kejutan yang amat mudah dinikmati.
Desa ini masih seperti desa kebanyakan, di tengah sawah dan
terlintasi sungai. Meski begitu, masyarakatnya sama sekali tidak
konservatif. Mereka sudah berpikiran maju untuk menjadikan potensi
pariwisata desanya menjadi penghidupan. Banyak sekali rumah-rumah
penduduk dijadikan homestay. Beberapa masyarakat bahkan memiliki profesi sampingan menjadi pemandu wisata.
Pak Saep, pemandu wisata kami, berpendapat senada, “Ini semua bukan
bantuan pemerintah. Masyarakat sendiri yang punya inisiatif menjadikan
desa jadi kampung wisata.”
Agenda kami padat. Maklum, hanya dua hari dan cukup banyak tempat
yang mesti dikunjungi. Alhasil, setelah beristirahat sebentar, kami
memulai trekking ke Goa Lalay.
Di siang yang cukup terik, kami menelusuri sawah-sawah membujur.
Seperti bunga yang akan merekah, sawah yang kami lewati masih hijau.
Sejauh mata memandang, hanya hijau menentramkan yang kami lihat.
Beberapa kali bertemu petani ramah yang menyambut kami dengan dialek
Sunda mereka yang kental.
Mudah tak selamanya kami lewati. Dua kali kami harus berusaha melawan
arus deras sungai. Untung saja sungainya tak dalam. Meski begitu, harus
ekstra hati-hati agar tidak terpeleset. Bawaan kamera dan ponsel bisa
dalam bahaya.
Setelah kurang lebih satu jam perjalanan, kami sampai di destinasi
pertama, Goa Lalay. Lalay menurut bahasa Sunda artinya kelelawar. Pak
Saep mengatakan goa ini penuh kelelawar kala malam menjelang. Saat
Maghrib menjelang Isya, biasanya gerombolan kelelawar ini keluar dari
sarangnya.
Ada sungai kecil yang mengalir dari dalam goa ini. Sayangnya,
berhubung musim hujan, aliran air pun lebih deras dari biasanya. Kalau
dilihat dari luar, memang sepertinya tidak memungkinkan untuk masuk ke
dalam. Saya pikir sayang sekali sudah jauh-jauh, tapi tidak melihat
stalaktit Goa Lalay yang konon memang terkenal. Akhirnya, saya dan
beberapa teman memaksakan diri masuk. Walau awalnya agak sulit karena
bebatuan licin ditambah arus yang deras, justru air menjadi agak tenang
ketika sampai di dalam.
Di dalam, tak terlihat ada kelelawar satu pun. Menurut Pak Saep,
mereka bersarang terlalu ke dalam. Kondisi di dalam goa tidak
memungkinkan kita untuk menelusuri lebih ke dalam. Tak berjodoh dengan
para lalay rupanya.
Setidaknya, stalaktit-stalaktit tadi sudah mau bercengkerama dengan kami.
Selepas dari Goa Lalay, kami kembali melanjutkan perjalanan. Melewati
pematang-pematang sawah, bukit-bukit kecil, dan tak ketinggalan jalanan
penuh lumpur. Beberapa teman sangat kelelahan, apalagi yang perempuan.
Banyak juga tragedi-tragedi kecil, seperti ada yang tercemplung ke
sawah, terpeleset ketika jalan turun, atau sekedar terkilir saat
menapak.
Tapi saya yakin, semua kelelahan dan kesialan itu terbayar ketika telapak sudah bersentuhan dengan pasir pantai.
Kembali mendengar deru ombak dan menikmati aliran air laut di
sela-sela kaki memberi kenikmatan tersendiri. Untuk saya, pantai tak
pernah gagal memberi kesan menawan.
Dari sana, Karang Taraje sudah terlihat amat dekat. Namun sayang,
sepertinya saya belum diizinkan mampir di sana. Jalanan menuju ke sana
dijaga segerombolan anjing penjaga ternak yang terkenal ganas. Daripada
mencari masalah, lebih baik mengurungkan niat pergi untuk mendekat.
“Taraje” dalam bahasa setempat artinya tangga. Mudah ditebak kenapa
dinamakan demikian: bentuk karangnya memang menyerupai tangga. Kalau
memandang dari arah pantai, sisa air di karang dari tabrakan ombak
seakan bergerak, bertahap, menuruni anak tangga.
Beberapa penduduk terlihat sedang memancing dengan cara yang unik.
Dengan seutas bambu, mereka memancing agak ke tengah laut sambil mendera
ombak. Ikan yang didapat pun cuma ikan-ikan kecil. Memang bukan untuk
dijual, tapi dikonsumsi sendiri.
Kami harus menaiki bukit yang cukup terjal untuk sampai ke agenda
terakhir sekaligus puncak, hari itu. Menunggu sang surya terbenam di
Tanjung Kelayar. Sebenarnya kalau enggan menaiki bukit, melewati jalan
memutar juga bisa dilakukan. Tinggal memilih, lebih senang jalan berbatu
dan licin atau jalanan menanjak yang juga licin.
Akhir hari itu menjadi sempurna ketika matahari akan mengucap salam
pamit pada semesta. Indahnya tak terucap, cantiknya tak terungkap.
Benar-benar pemandangan luar biasa sebagai hadiah bagi kami yang sudah
rela berpeluh demi sampai di sini. Terasa tenang sekali perasaan. Seakan
kami tak mau mengijinkan matahari pergi begitu cepat.
Cuaca cerah sehari tadi membuat sempurna spektrum peninggalan sang
surya. Lukisan paling cantik satu semesta dari Yang Kuasa. Membuat
insan-insan lebih merasakan makna mendalam akan malam. Terang tak
selamanya jaya, ada waktu masing-masing seperti juga manusia yang tak
selamanya merasakan kenikmatan.
Sambil menikmati semangkuk mi rebus dan segelas es kelapa, saya
terduduk santai di pasir putih. Bercengkerama dengan teman seperjalan.
Tak lupa mendirikan tripod sebagai penyangga kamera. Kami banyak
mengambil gambar sampai lupa waktu. Cahaya senja semakin menghilang.
Kami mesti segera beranjak pulang.
Esok paginya kami menuntaskan agenda perjalanan ini dengan mengunjungi Pantai Ciantir. Dari perkampungan warga tempat lokasi homestay,
bisa dicapai dengan berjalan kaki 10 menit. Pasir putih sejauh mata
memandang membuat pantai ini cantik penuh pesona. Tak kalah dibanding
banyak pantai-pantai cantik lain di Pulau Jawa, bahkan Bali ataupun
Lombok.
Kami ingin memanfaatkan waktu langka ini sebaik-baiknya. Ada yang
bermain bola, bersantai sambil minum es kelapa, atau sekedar
menghabiskan memori di kamera.
Saat hari beranjak siang, kami mesti kembali ke penginapan untuk bersiap-siap kembali ke Jakarta.
Saat hari beranjak siang, kami mesti kembali ke penginapan untuk bersiap-siap kembali ke Jakarta.
Rasanya tak ingin cepat berpisah dengan kehangatan dan kebersahajaan
desa ini. Setelah semuanya, saya merasa beruntung pernah merasakan
keduanya itu. Meski cuma sebentar, tak hanya kepenatan yang hilang,
pencerahan pun muncul akan cara-cara sederhana menikmati hidup.
Jiwa kembali siap menjalani rutinitas di hari hari berikutnya tanpa pernah lupa akan satu hal, menjelajahi sisi lain bumi Tuhan.
0 komentar:
Posting Komentar