Panorama cantik Desa Sawarna telah menjadi buah bibir anak-anak
Indobackpacker sejak tahun 2008. Niat ke sana juga sudah tersimpan sejak
setahun kemarin. Namun baru 2-3 April 2010 impian ini terlaksana.
Pantai yang masih perawan, gugusan karang yang cantik dan trekking
gua-bukit-pantai yang cukup menguras energi. Outbound tingkat medium
yang benar-benar seru.
Setelah
tujuh jam berkendara dengan menyewa mobil, tibalah kami di Desa
Sawarna. Sengaja aku memilih rute Serang-Pandeglang-Malimping-Bayah,
takut kena macet di Cicurug-Cibadak. Jalan di Malimping memang banyak
yang rusak, namun masih bisa ditolerir.
Di Desa Sawarna kami dijemput Kang Yudha, anak kedua Bu Widi,
yang menjadi host kami. Setiba di sana matahari
telah meninggi,niat melihat sunrise di pantai pun susut. Untunglah ada
hiburan lain yang membuat aku kembali bersemangat. Jembatan kayu yang
berayun-ayun setiap kami menapak itu membuat rekan-rekan rombonganku
memekik-mekik ketakutan. Jembatan tradisional itulah salah satu
penghubung ke Desa Sawarna.
Setelah
dijamu pisang goreng, teh manis dan kopi hangat, serta nasi goreng,
kami siap bermain air. Kang Yudha lalu mengajak kami ke Pantai Ciantir.
Pantai ini berpasir putih dan memiliki garis pantai yang panjang.
Seperti laut selatan pada umumnya, ombaknya cukup tinggi. Beruntung saat
kami menyusuri pantai, ombaknya bersahabat. ’’Ini sih bisa dibilang
ombaknya kecil,’’ ujar Kang Yudha yang ternyata peselancar andal. Meski
termasuk tenang, ada beberapa turis asing yang berselancar.
Setelah puas berfoto-foto, Kang Yudha menggiring kami ke tujuan utama ke Sawarna ini. Tanjung Layar. Dari kejauhan
terlihat dua karang yang saling mengapit seperti pintu gerbang. Pintu
gerbang ke kerajaan air, pikirku. Indah sekali. Ini tidak kalah dengan
James Bond Island di Phuket dengan bentuk yang berbeda. Bila Phuket
berbentuk paku terbalik ini berupa dua tebing seperti layar.
Ketika
Kang Yudha bilang tidak berbahaya berenang menuju ke tebing tersebut,
aku segera mencebur ke air laut yang dingin itu. Ternyata tidak terlalu
dalam, kira-kira sepinggang hingga sedada. Namun, arusnya cukup deras.
Aku, Ovi, Ardi, Cici dan Any tertahan di dua pertiga perjalanan.
Sepertiga sisanya tidak berani kami lakukan melihat arus air yang cukup
seram.
Setelah
dua pantai itu kami mengaso sambil menunggu para pria sholat Jumat.
Hawa yang panas dan angin sepoi-sepoi membuai kami hingga hampir
terlelap. Baru sekitar pukul 13.30 kami kembali menyiapkan diri untuk
trekking. Sebulan menuju Sawarna aku telah mengumpulkan informasi dari
anak-anak Indobackpacker, perjalanannya menuju Gua Lalay, Legon Pari dan
pulang melalui Tanjung Layar tidak begitu mudah. Kenyataannya memang
demikian.
Gua
Lalay, gua kelelawar itu memaksa kami berbasah-basah. Airnya antara
selutut-sepinggang dan dingin. Staklagmit dan stalaktitnya tidak
istimewa. Pijakan batu yang licin dan endapan lumpur bercampur kotoran
kelelawar membuat kami tidak bisa berjalan cepat. Mungkin sensasi air
yang dingin dan rasa penasaran itulah yang membuat gua ini masih layak
untuk dikunjungi.
Legon Pari yang menjadi tujuan berikut paling menguras energi. Kami
melewati persawahan yang agak becek setelah diguyur hujan, mendaki bukit
dan kemudian menuruninya. Sandal jepit terpaksa kucopot karena licin.
Faisal, anak Kang Yudha yang masih kelas 2 SD lah yang membuatku
bersemangat. Ia dengan lincah dan tanpa rasa lelah memimpin rombongan
kami. Ketika lautan telah samar-samar terlihat, energiku terasa kembali.
Setiba di sana, aku segera menyongsong air berwarna kebiruan itu.
Dibanding Ciantir, Legon Pari lebih indah. Di beberapa tempat
bertebaran laguna-laguna kecil berisi air tawar hangat. Di dalamnya ada
ikan-ikan kecil. Rasanya nyaman berendam di sana setelah melangkah cukup
jauh.
Di pantai inilah aku melihat sekawanan kerbau yang di antaranya asyik
berkubang di salah satu laguna. Hihihi lucu. Muka mereka yang polos dan
pasrah nampak kegirangan ketika berkubang di laguna itu. Terus terang
baru kali ini aku melihat sekawanan kerbau berjalan-jalan di pantai.
Ingin sekali mengelus-elus anak kerbau. Namun, niatku kuurungkan, takut
diseruduk hehe.
Mendung
bergelanyut. Kang Yudha lalu memimpin rombongan kami pulang. Wow
perjalanannya benar-benar menantang. Sepanjang jalan penuh batu-batu dan
karang yang licin. Ovi terpeleset dan memar, kaki dan lengannya
berdarah. Lagi-lagi aku beruntung menemukan kayu yang cukup panjang.
Tongkat itu membantuku berjalan dan memilah batu yang bisa kutapak.
Hampir sejam kami berjalan, muka teman-temanku nampak kelelahan. Dan
tiba-tiba hujan mengguyur. Sempurna trekking ini, gumamku antara kesal
dan geli.
Tiba di Tanjung Layar aku terkejut. Air yang surut membuat karang-karang kecil menuju Tanjung Layar terlihat. Nampak
beberapa pengunjung berfoto-foto di tebing tersebut. Yaaa….tadi kami
bersusah payah menuju ke sana, eh sekarang terlihat mudah. Tubuh yang
lelah dan tiadanya tantangan menyurutkan niat menuju ke tebing tersebut.
Aku lebih memilih kembali ke pondok untuk mandi menyegarkan diri.
Menuju pondok, langit semakin kelam. Dan di langit penuh kelelawar yang
cukup besar seolah-olah mengucapkan selamat tinggal kepadaku.
0 komentar:
Posting Komentar